ANARKI DEMOKRASI


DEMONSTRASI sebagai instrumen demokrasi telah berubah menjadi praktik anarkisme. Perubahan itu sangat jelas terjadi dalam unjuk rasa pembentukan provinsi Tapanuli di DPRD Sumatra Utara, kemarin. Para pengunjuk rasa dalam sekejap berubah menjadi pembunuh Ketua DPRD Sumatra Utara Abdul Aziz Angkat.
Abdul Aziz yang baru dua bulan menjabat Ketua DPRD itu menjadi korban demonstrasi brutal yang mengatasnamakan demokrasi. Nyawa politikus dari Partai Golkar itu tidak bisa diselamatkan setelah dipukuli sejumlah demonstran meski hasil visum menyebutkan ia meninggal akibat serangan jantung.



Tragedi Medan itu sedikitnya memberikan tiga pelajaran sangat berharga. Pertama, pengamanan lembaga negara yang belum maksimal. Adalah benar bahwa Gedung DPRD itu rumah rakyat yang terbuka untuk siapa saja yang menyampaikan aspirasi. Keterbukaan itu hendaknya tidak membuat aparat keamanan lalai dan lengah melindungi penyelenggara negara.



Ketika Tragedi Medan terjadi, jumlah personel kepolisian yang bersiaga di Gedung DPRD jauh lebih sedikit daripada jumlah pengunjuk rasa. Karena itulah, polisi tidak berdaya saat demonstran memaksa masuk ke ruang sidang DPRD.
Pelajaran kedua adalah kegemaran merusak dan membunuh atas nama demokrasi belum juga hilang dari negeri ini. Bahkan, vandalisme dan barbarisme itu kian hari kian meningkat dipertontonkan secara atraktif di ruang publik. Seolah-olah merusak merupakan perilaku yang sah bagi demonstran. Itulah ironi demokrasi yang melahirkan anarki demokrasi.
Adalah benar bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum merupakan hak setiap warga negara yang dijamin konstitusi. Namun pada saat bersamaan, hak hidup orang lain pun harus dihormati, bahkan harus dibela habis-habisan. Sebab hak untuk hidup merupakan hak asasi.
Bangsa ini jelas belum siap berdemokrasi. Mengutamakan hak dan serentak dengan itu tidak peduli dengan kewajiban. Sangat hebat mengutamakan hak menyatakan pendapat, dan sebaliknya juga sangat hebat tidak mengindahkan kewajiban mendengarkan pendapat orang lain. Hak orang lain diperkosa atas nama demokrasi yang sesungguhnya hanyalah cermin nafsu merusak dan membunuh. Memalukan, bahwa sebagian orang mengagungkan peradaban primitif di zaman modern ini.
Pelajaran ketiga adalah nafsu memekarkan wilayah pemerintahan yang membawa petaka dan kini berujung maut. Harus jujur diakui, sekalipun pahit, pemekaran wilayah yang terjadi selama ini hanya berbasiskan kepentingan sempit. Lebih celaka lagi, dari perspektif kebangsaan yang menganut paham keberagaman, gagasan pemekaran itu sebuah langkah mundur karena sangat kuat diwarnai kepentingan primordialisme.
Sumatra Utara selama ini sangat dikenal sebagai daerah yang sangat pluralis dengan tingkat toleransi sangat tinggi. Penyebaran etnik dan agama di daerah itu sangat beragam. Tuntutan pembentukan provinsi Tapanuli itu jelas memecah-belah warga Sumatra Utara, khususnya orang Batak.
Bukan rahasia lagi pemekaran wilayah hanya membawa buntung bagi rakyat. Elite lokal yang diuntungkan karena pemekaran menciptakan banyak jabatan baru. Karena itulah elite lokal sering menggerakkan demonstrasi pemekaran wilayah yang berubah menjadi anarki demokrasi.
Nafsu memekarkan wilayah harus dihentikan. Tragedi kematian Abdul Aziz hendaknya menjadi lonceng kematian bagi barbarisme yang berkedok demokrasi. Berapa banyak lagi Ketua DPRD yang harus mati sia-sia?

Share this:

CONVERSATION

0 komentar:

Posting Komentar