GIE the fenomenal


Mungkin kita sudah mendengar nama gie atau bahkan sudah pernah nonton film “GIE” di bioskop, tapi mungkin kita belum tau siapa sebenarnya gie atau soe hok gie itu.

Soe Hok Gie dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942, dibesarkan di sebuah keluarga keturunan tionghoa yang tidak begitu kaya dan berdomisili di Jakarta. Setelah lulus dari SMA Kanisius Gie melanjutkan kuliah ke Universitas Indonesia tahun 1961.


Di masa kuliah inilah Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengritik tajam rejim Orde Baru.Sejak remaja, Hok Gie sudah mengembangkan minat terhadap konsep-konsep idealis yang dipaparkan oleh intelek-intelek kelas dunia.


Semangat pejuangnya, setiakawannya, dan hatinya yang dipenuhi kepedulian sejati akan orang lain dan tanah airnya membaur di dalam diri Hok Gie kecil dan membentuk dirinya menjadi pribadi yang tidak toleran terhadap ketidakadilan dan mengimpikan Indonesia yang didasari oleh keadilan dan kebenaran yang murni. Semangat ini sering salah dimengerti orang lain. Bahkan sahabat-sahabat Hok Gie, Tan Tjin Han dan Herman Lantang bertanya "Untuk apa semua perlawanan ini?". Pertanyaan ini dengan kalem dijawab Soe dengan penjelasan akan kesadarannya bahwa untuk memperoleh kemerdekaan sejati dan hak-hak yang dijunjung sebagaimana mestinya, ada harga yang harus dibayar, dan memberontaklah caranya. Semboyan Soe Hok Gie yang mengesankan berbunyi, "Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan."
Gie –saat itu– menganggap pemerintah Soeharto yang baru dibentuk merupakan antitesis dari pemerintah Soekarno yang korup dan tidak berpijak pada realitas. Pemerintah Soekarno dan pemerintah Soeharto memiliki cita-cita yang sama besarnya dalam menyejahterakan masyarakat. Namun caranya berbeda. Dan di sinilah subjektivitas Hok Gie muncul. “Jauh lebih mudah membuat sebuah monumen dengan emas di puncaknya daripada membuat dan memperbaiki 1000 kilometer jalan raya,” katanya menyinggung proyek Monumen Nasional yang dibangun di jaman Presiden Soekarno.
Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi tahun 66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah kemudian selepas mereka lulus karena kedudukan malah berpihak ke sana dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66. Gie memang bersikap oposisif dan sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya.

Pemerintah yang pragmatis dan kegagalan komunikasi yang dimengerti masyarakat umum pada akhirnya gagal menimbulkan gairah dan sokongan kerja masyarakat. Masyarakat dijejali istilah rule of law, human rights, tertib hukum dari Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung dan bahkan Presiden Soeharto. Namun di lain pihak, setiap hari mereka mendengar oknum militer yang menampar rakyat, anak-anak penggede yang ngebut serta penyelundupan yang dilindungi.

Gie pernah berkata pada Arief, kakaknya, “Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang yang saya anggap tidak benar dan yang sejenisnya lagi. Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian”.

Gie menulis kritik-kritik yang keras di koran-koran, bahkan kadang-kadang dengan menyebut nama. Dia pernah mendapat surat-surat kaleng yang antara lain memaki-maki dia, antara lain, “Cina yang tidak tahu diri, sebaiknya pulang ke negerimu saja”. Ibu Gie sering gelisah dan berkata, “Gie, untuk apa semuanya ini. Kamu hanya mencari musuh saja, tidak mendapat uang”. Terhadap ibunya dia cuma tersenyum dan berkata, “Ah, mama tidak mengerti”.
Kemudian, Gie juga pernah jatuh cinta dengan seorang gadis. Tapi orang tuanya tidak setuju — mereka selalu dihalangi untuk bertemu. Orang tua gadis itu adalah seorang pedagang yang cukup kaya dan Gie sudah beberapa kali bicara dengan dia. Kepada Arief, Gie berkata, “Kadang-kadang, saya merasa sedih. Kalau saya bicara dengan ayahnya si ***, saya merasa dia sangat menghargai saya. Bahkan dia mengagumi keberanian saya tanpa tulisan-tulisan saya. Tetapi kalau anaknya diminta, dia pasti akan menolak. Terlalu besar risikonya. Orang hanya membutuhkan keberanian saya tanpa mau terlibat dengan diri saya”. Karena itu, ketika seorang temannya dari Amerika menulis kepadanya: “Gie seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian, Selalu. Mula-mula, kau membantu menggulingkan suatu kekuasaan yang korup untuk menegakkan kekuasaan lain yang lebih bersih. Tapi sesudah kekuasaan baru ini berkuasa, orang seperti kau akan terasing lagi dan akan terlempar keluar dari sistem kekuasaan. Ini akan terjadi terus-menerus. Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai seorang intelektual yang merdeka: sendirian, kesepian, penderitaan”. Surat ini dia tunjukkan kepada Arief. Arief menuturkan, “Dari wajahnya saya lihat dia seakan mau berkata: Ya, saya siap.”
Gie, berdasarkan kedudukannya dapat disetarakan dengan tentara yang kembali dari medan perang. Ia dipuji dan dielu-elukan rakyat, namun ketika sang tentara hendak mencari pasangan hidup, tentu orang tua sang wanita tak akan rela menyerahkan anak gadisnya untuk dinikahi sang tentara. Kenapa begitu? Biarpun yang ia lakukan itu benar dan berjasa besar, namun tindakannya terlaku berbahaya dan beresiko.
Pemikiran dan sepak terjangnya tercatat dalam catatan hariannya. Pikiran-pikirannya tentang kemanusiaan, tentang hidup, cinta dan juga kematian. Tahun 1968 Gie sempat berkunjung ke Amerika dan Australia, dan piringan hitam favoritnya Joan Baez disita di bandara Sydney karena dianggap anti-war dan komunis. Tahun 1969 Gie lulus dan meneruskan menjadi dosen di almamaternya.
Selain itu juga Gie ikut mendirikan Mapala UI. Salah satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung. Pada saat memimpin pendakian gunung Slamet 3.442m, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”.
Bersama Mapala UI Gie berencana menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya 3.676m. Sewaktu Mapala mencari pendanaan, banyak yang bertanya kenapa naik gunung dan Gie berkata kepada teman-temannya:
“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”
8 Desember sebelum Gie berangkat sempat menuliskan catatannya: “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.” Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung tersebut.
24 Desember 1969 Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.
Beberapa quote yang diambil dari catatan hariannya Gie:
“Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”
“Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”
“Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan…”
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
semoga bermanfaat:
Jangan pernah takut untuk menyerukan kebenaran
Vagabond



Share this:

CONVERSATION

1 komentar: